Valuasi Suatu Startup: Apakah begitu pentingnya? #Bagian 1
Pagi ini tanggal 19 Februari 2022, saya memberikan kelas perkenalan terhadap bagaimana memberikan price tag (“nilai”) pada suatu bisnis startup, dimana video tersebut dapat diakses melalui link ini https://www.livenex.com/media/62106a2f57b99c1815aed0ca (jangan lupa untuk login dulu).
Dalam kelas perkenalan itu, saya menjelaskan terkait konsep pre-money valuation, funding raise, post-money valuation, target IRR dan multiple (Money-on-Money (MoM), atau Cash-on-Cash (CoC), atau Multiple of Invested Capital (MOIC)) dari pihak investor dalam kontek portofolio investasi mereka, serta ditutup dengan penjelasan singkat terkait Venture Capital (VC) Method – metode mana pertama kali diangkat oleh Prof. William A. Sahlman dari Harvard Business School.
Dari berbagai metode valuasi startup yang ada banyak literatur, dapat dikatakan terdapat 7 (tujuh) pendekatan yang banyak disebut, yaitu:
Metode Pre-Revenue
- Berkus Method
- Scorecard Method (atau karena menjadi favorit dari angel investor Bill Payne, akhirnya banyak disebut sebagai Payne Method)
- Risk Factor Summation Method
- Venture Capital Method
Metode Post-Revenue
- Discounted Cash Flow (DCF) Method
- Comparables Method (baik Entry-Investment atau Exit)
- First Chicago Method
Metode Post-Money
VC Method menjadi agak menarik bagi saya untuk disampaikan karena guna mendapatkan post-money valuation startup “saat ini”, terdapat
- penggunaan target IRR dan MOIC pihak investor; dan
- penggunaan comparable (apakah mengacu ke angka-angka keuangan, seperti price-to-sales ratio, atau angka-angka non-keuangan yang relevan untuk bisnis online atau e-commerce, atau Software-as-a-Service (SaaS), seperti Montly/Weekly/Daily Active User, Monthly Unique User, MRR Monthly Recurring Revenue) untuk menentukan nilai exit di tahun-tahun mendatang, saat Exit dilakukan.
Namun demikian, perlu dicatat bahwa penerapan VC Method maupun metode-metode yang lainnnya, kecuali Berkus Method, semuanya bagaimanapun akan menggunakan perbandingan (comparable, benchmark, a representative group of startups dan rata-rata nilai valuasi mereka). Artinya pendekatan comparable menjadi lebih make sense, mengingat bahwa startup baru pada tahap-tahap awal sekali (pre-seed, seed, early stage – di mana dalam Kurva J dari buku Howard Love, baru memulai (create), memperkenalkan dan uji coba ke konsumen (release), melalukan perubahan dan penyesuaian (morph) dan membangun dan kemudian mengkonsolidasikan bisnis model (model)) akan relatif berapapun nilai valuasi yang dihitung akan merupakan suatu “nilai sesungguhnya”. Pada akhirnya itu merupakan nilai “saat ini” sesuai kesepakatan antara founder dengan pihak investor.
Yang menarik dalam artikel “How Venture Capitalists Make Decisions” oleh Paul Gompers, Will Gornall, Steven N. Kaplan, and Ilya A. Strebulaev (Gompers dkk), artikel mana dimuat di the March–April 2021 issue of Harvard Business Review (https://hbr.org/2021/03/how-venture-capitalists-make-decisions (diakses tanggal 20 Februari 2022), dari sudut pandang Venture Capital firm, valuasi hanya menempati urutan ke-5 (lima)!.
Saya kutip di bawah ini:
Interestingly, the company’s valuation was only the fifth most cited factor in decisions about which deals to pursue. Indeed, while CFOs of large companies generally use discounted cash flow (DCF) analyses to evaluate investment opportunities, few VCs use DCF or other standard financial-analysis techniques to assess deals. Instead, by far the most commonly used metric is cash-on-cash return or, equivalently, multiple of invested capital—simply the cash returned from the investment as a multiple of the cash invested. The next most commonly used metric is the annualized internal rate of return (IRR) a deal generates. Almost none of the VCs adjusted their target returns for systematic (or market) risk— a mainstay of MBA textbooks and a well-established practice of corporate decision-makers. Strikingly, 9% of the respondents in our survey did not use any quantitative deal-evaluation metric. Consistent with this, 20% of all VCs and 31% of early-stage VCs reported that they do not forecast company financials at all when they make an investment.
Yang menarik ada bagian dari artikel tersebut yang menyebutkan bahwa intinya bukan di valuasi, tapi kemungkinan bahwa startup tersebut bisa menjadi “big hit” atau “home run” atau “end game success”, berhasil diakusisi oleh perusahaan yang lebih besar dengan angka fantastis, atau melalui IPO dengan market capitalization yang tinggi.
Lebih lanjut Gompers dkk (2020):
What explains this disregard for traditional financial evaluation? VCs understand that their most successful M&A and IPO exits are the real driver of their returns. Although most investments yield very little, a successful exit can generate a 100-fold return. Because exits vary so much, VCs focus on finding companies that have the potential for big exits rather than on estimating near-term cash flows.
Artinya antara founder dan VC yang hanya meributkan selisih valuasi katakan US$ 2-3 miliar, artinya mereka telah “miss the ball”. Artinya founder lebih baik super-fokus (dan menghabiskan waktu dan energi mereka lebih banyak) ke bisnis dan memastikan bahwa bersama dengan dukungan dana, networking, pengalaman, dan lain-lain dari investor, dapat mencapai end game yang sukses.
Contoh dari IPO Uber dapat memberikan gambaran ini, pada saat IPO pada tahun 2019, nilai IPOnya mencapai US$ 75 miliar (https://www.fool.com/investing/2020/02/25/if-you-invested-500-in-ubers-ipo-this-is-how much.aspx#:~:text=Ultimately%2C%20Uber%20announced%20an%20IPO,valuation%20at%20around%20%2475%20billion, diakses tanggal 20 Februari 2022), dengan Exit Multiple yang tinggi, berapa nilai valuasi awal tetap akan memberikan pengembalian yang sangat fantastis untuk semua pihak, sebagaimana ditunjukkan di bawah ini.
Artinya, bahkan dengan range valuasi dari US$ 5,4 juta hingga US$ 60 miliar, IPO Exit Multiple tetap amazing, bahkan terendahnya, uang investor dikembalikan 583x!
Gompers dkk (2020), lebih lanjut menyebutkan:
We also asked VCs what contributed most to the success or failure of their portfolio companies. Again, the management team was identified as the most important factor by far.
One framework suggests that VCs favor either the “jockey” or the “horse. ” (The entrepreneurial team is the jockey, and the start-up’s strategy and business model are the horse.) Our survey found that VCs believe both the jockey and the horse are necessary—but ultimately deem the founding management team to be more critical. As the legendary VC investor Peter Thiel told us, “We live and die by our founders. ”
Di sini, kita lihat bahwa nilai valuasi tidak menjadi suatu yang terlalu terobsesi bagi para investor (dan mestinya juga bagi founder), mereka akan lebih mengandalkan pada :
- Quality deal – memastikan bahwa hanya startup yang memiliki kemungkinan exit yang kuat dengan nilai market capitalization yang besar-lah yang lebih penting, yang akhirnya mendapatkan pendanaan (funding) dari pihak investor.
- Memastikan bahwa founder startup dan timnya memiliki semua karakteristik yang diperlukan, termasuk kemampuan eksekusi guna memastikan bahwa bisnis startup tersebut dapat masuk ke tahap pertumbuhan yang kuat, dan perluasan lebih lanjut (scale-up). Pihak investor berarti di sini “bet on the jockey” (mempertaruhkan nasibnya mereka pada founder dan timnya).
Kalau kita melihat persamaan valuasi startup mendasar adalah:
Pre-Money Valuation (Pre-MV) + Investasi dari investor (I) = Post-Money Valuation (Post-MV)
Pre-MV, atau dengan sendirinya Post-VM kalau I diketahui, maka dari apa yang saya tulis di atas, mestinya tidak menjadi negosiasi yang alot (pointer counter-pointer volleys), dan memang dalam banyak investasi, dapat terjadi tidak lama penetapan nilai Pre-MV startup.
Lalu, kalau nilai valuasi startup tidak terlalu “true value”, lalu apa yang nyata dari persamaan valuasi startup di atas?
Yang nyata adalah nilai investasi dari pihak investor, itu yang bisa masuk ke dalam rekening bank startup untuk mendanai pertumbuhan dan perkembangan startup berikutnya dan akan menjadi fuel (bensin) bagi bisnis tersebut dan dapat menentukan keberlanjutan bisnis tersebut. Banyak startup yang dalam perjalanan bisnisnya karena kehabisan napas (running out of money), kemudian mengalami kesulitan untuk melanjutkan perjalanannya, dan “miss many targets”.
Artinya yang menarik dalam proses negosiasi adalah:
- Berapa jumlah dana investasi yang diperlukan (funding raise) dari pihak investor, yaitu I di persamaan di atas – dari sisi Founder, tentunya setinggi mungkin.
- Dan besarnya dana investasi ini akan turut menentukan berapa jumlah dilusi porsi kepemilikan saham pihak founder, yaitu I dibagi Post-MV – dari sisi Founder, tentunya serendah mungkin.
Kedua hal di atas yaitu BESARNYA DANA PENDANAAN dan ANGKA DILUSI SAHAM FOUNDER adalah yang NYATA dalam proses negosiasi antara founder dan investor.
Berarti pertanyaannya sekarang, bagaimana menentukan besarnya dana yang diperlukan dari investor? Ini akan kita eksplorasi di #Bagian 3 dari topik ini.
Dalam #Bagian 2, kita membicarakan terlebih dahulu, bahwa pada saat negosiasi antara founder dan investor dalam kaitannya dengan Pre-MV dan besarnya funding amount, ada elemen “asymmetric information” dimana:
- Pihak founder lebih banyak memiliki informasi terkait bisnis startup mereka dan bagaimana bisnis ini akan dibawa kedepannya
- Pihak investor jelas memiliki lebih banyak informasi terkait berapa nilai “fair” valuasi karena mereka telah melakukan banyak investasi di berbagai portofolio, dan sudah dapat gambaran berapa kisaran pre-MV yang dapat mereka bicarakan sama founder, berikut juga dana yang mungkin dapat mereka suntikan, untuk mendapatkan kisaran porsi kepemilikan saham yang mereka targetkan.