Valuasi Startup : Apakah Begitu Pentingnya? #Bagian 2 (Asimetri Informasi)
Melanjutkan #Bagian 1, bahwa negosiasi antara founder dengan pihak investor, terdapat elemen “information asymmetry”.
Walaupun ini hanya ilustrasi, tapi ini menggambarkan adanya kemungkinan ini sehingga hal ini perlu dihindari dalam proses funding raise.
Katakan ada founder startup A sedang memulai suatu financing round dengan kebutuhan dana sebesar Rp 20 miliar, ke pihak investor, yaitu Investor B dan Investor C. Rencana Exit adalah 7 tahun.
Kedua investor tertarik untuk mendanai startup A sebesar angka yang diminta oleh founder A, namun keduanya datang dengan isi terms sheet yang berbeda.
Investor B, setuju dengan suntikan dana Rp 20 miliar tersebut yang di-trade off dengan saham biasa (common stock) startup A, dengan porsi kepemilikan saham sebesar 25%. Hal ini menginsyaratkan bahwa post-money value startup A adalah Rp 20 miliar/25% = Rp 80 miliar
Investor C, walaupun setuju dengan funding Rp 20 miliar, namun yang di-trade off adalah saham preferen (preferred shares) (catatan: dalam ilustrasi ini kita mengabaikan dulu sifat “convertible” yang umumnya dilekatkan pada saham preferen yang diterbitkan kepada investor) dengan liquidation multiple 1x (artinya ada jaminan bahwa nilai investasi Investor C sebesar Rp 20 miliar ditambah 100%, dan hak partisipasi sebesar 10% dimana atas kelebihan nilai Exit di atas Rp 40 miliar (yaitu Rp 20 miliar nilai funding ditambah Rp 20 miliar lagi (1x) ). Hal ini berarti perhitungan post-money value startup A adalah Rp 20 miliar/10% (diasumsikan hak partisipasi juga akan menjadi konversi ke saham biasa sebanyak 10%) yaitu Rp 200 miliar.
Jadi dapat diringkas ke dalam tabel di bawah ini:
Deskripsi | Investor B | Investor C |
Jenis saham yang diminta | Saham biasa | Saham preferen (ada liquidation multiple 1x) plus hak partisipasi 10%) |
Jumlah funding | Rp 20 miliar | Rp 20 miliar |
Post-Money Value | Rp 80 miliar | Rp 200 miliar |
Persentasi kepemilikan | 25% | 10% |
Dari tabel di atas, pertanyaannya, mana yang lebih menarik bagi founder startup A?
Kalau dibandingkan post-money value dan persentase kepemilikan yang akan dilepas oleh founder A, tampak bahwa terms sheet dari Investor C jauh lebih menarik dibandingkan Investor B.
Jawabannya, seperti banyak hal di dunia startup, it depends…tergantung apa yang diketahui dan akan diusahakan oleh founder startup A. Seperti disebutkan di #Bagian 1 dari tulisan ini, bahwa pihak investor banyak mengandalkan pihak founder dan manajemen startup untuk mengeksekusi business plan, dengan kata lain, mereka “bet on the jockey and not on the horse”.
Mari kita buat perbandingan antara penawaran dari Investor B vs Investor C (diasumsikan saham preferen tersebut tidak dikonversi ke saham biasa).
Dari analisa perbandingan di atas, tampak bahwa:
- kalau Exit Value di bawah Rp 240 miliar, maka founder A akan condong memilih penawaran Investor B, karena jumlah uang yang akan didapatkan akan lebih tinggi
- kalau Exit Value di atas Rp 240 miliar, maka founder A akan condong ke Investor C
Angka Rp 240 miliar didapatkan dari perhitungan di bawah ini:
Di sini, “information asymmetry” founder A tentunya akan berperan, kalau memang founder A “tahu” bahwa bisnis startup A tidak akan dapat mencapai Exit Value sebesar Rp 240 miliar, maka dia akan terima penawaran Investor B. Tapi kalau sebaliknya, dia cenderung mengetahui bahwa bisnis startup A tersebut akan menjadi “mega hits” dengan rencana Exit yang kuat, pilihan ke Investor C akan menguntungkan founder A.
Ini artinya, dalam penawaran Investor C ada perlindungan atau proteksi dalam kondisi down-side, yaitu saat nilai Exit tidak tinggi nilainya, maka Investor C tetap mendapatkan pengembalian yang bagus, dimana ada jaminan pengembalian 1x, yaitu Rp 40 miliar, kalau nilai Exit mencapai Rp 40 miliar, maka ini semuanya milik Investor C. Kalau founder startup A percaya nilai Exit akan melambung tinggi, maka founder A bersedia memberikan down-side protection kepada Investor C asalkan mendapatkan nilai post-money valuation yang tinggi (Rp 200 miliar vs dari Investor B yang Rp 80 miliar).
Akan tetapi, kalau founder A percaya (berdasarkan informasi yang dia pegang) setelah beberapa tahun, bisnis startup A sulit mencapai Exit Value sebesar Rp 240 miliar, Investor B akan menjadi pilihan yang lebih logis.
Mengetahui adanya “information asymmetry” ini, pihak investor cenderung meminta down-side protection, terms yang biasanya diuraikan dalam terms sheet dari investor.
Dari ilustrasi di atas, kita melihat bahwa hanya berpatokan pada nilai post-money valuation saja tidak bisa menjadi patokan semata-mata dimana deal dengan Investor C tidak serta merta akan diterima oleh founder startup A walaupun nilainya jauh lebih tinggi daripada deal dari Investor B (sebesar Rp 80 miliar), namun ini kembali kepada informasi yang dimiliki oleh founder A, apakah ia cenderung untuk melihat bahwa pada saat Exit (misalnya diakuisisi oleh perusahaan lain), bisa memberikan nilai Exit di atas Rp 240 miliar. Kalau tidak, founder A akan cenderung ke deal dari Investor B yang tidak memiliki down-side protection bagi investor.